4/03/2008

Presiden Perempuan

Ada sebuah hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam shahihnya. Lengkapnya demikian :

Dari Abi Bakrah ra berkata,"Sungguh aku telah dikaruniai Allah SWT dengan sebuah kalimat yang kudengar dari Rasulullah SAW pada hari Jamal, ketika sampai kabar kepada Rasulullah SAW bahwa penduduk Persia mengangkat puteri Kisra sebagai raja, beliau bersabda?Tidak akan bahagia bangsa yang dipimpin oleh wanita." (HR. Bukhari kitab Al-Maghazi Bab Kitabun Nabi SAW Ila Kisra, juga dalam kitab Al-Fitan bab Al-Fitnah Allati Tamuju kamaujil Bahri)
Selain oleh Bukhari, hadits ini juga diriwayatkan oleh para ulama hadits lainnya seperti At-Tirmizi dalam kitab Al-fitan, An-Nasai dalam kitab adabul Qudhoh, Imam Ahmad bin Hambal Musnadnya dalam bab hadits Abi Bakrah.
Namun sekarang ini akibat serangan Al-ghazwul fikri yang sedemikian gencar, jadilah isu gender mengemuka. Dan umat Islam serta sebagian ulamanya pun sering silau dengan isu ini. Sebagian lainnya berkelit dengan mengatakan bahwa ada wanita jadi presiden di sebuah negeri mayoritas muslim adalah sebuah realitas.

Padahal benarlah Rasulullah SAW ketika bersabda dalam hadits di atas. "Tidak akan bahagia bangsa yang dipimpin oleh wanita."

Kalau kemudian ada sebagian yang berargumen dengan penyebutan seorang pemimpin wanita di dalam Alquran, yaitu Ratu Saba., maka jawabannya sebagai berikut:
1. Pertama

Mengambil hukum dari kisah ratu Saba` yang konon bernama Balqis itu sebenarnya bukan bagian dari cara istimbath hukum yang secara penuh disepakati oleh para ulama. Sebab ini masuk bab syar`u man qablana . Sebagian ulama tidak menerima istimbath hukum dengan cara seperti ini, karena pada prinsipnya setiap ummat telah memiliki syariat sendiri-sendiri. Dan sangat boleh jadi masing-masing syariat itu berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya.

Khusus buat agama kita ini, para ulama ushul mengatakan selama tidak ada penguatan dari Rasulullah SAW tentang kebolehan kita menggunakan hukum dari umat sebelum kita, maka pada dasrnya tidak boleh dilakukan. Bahkan dahulu ketika Umar bin Al-Khattab mencoba mencari jawban hukum dari Taurat, langsung ditegur oleh Rasulullah SAW karena hukum Taurat itu tidak untuk umat Islam dan keasliannya sudah tidak bisa dipertanggung-jawabkan lagi.

2. Kedua

Ratu Saba` yang diriwayatkan di dalam Al-Quran Al-Kariem itu bukanlah seorang pemimpin dari sebuah negeri Islam. Bahkan sebaliknya secara tegas dalam rangkaian kisah ratu Saba` disebutkan bahwa mereka itu menyembah matahari. Silahkan simak baik-baik ayat tersebut dimana burung Hud-hud milik Nabi Sulaiman as menceritakan penemuannya atas sebuah negeri kafir :

Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi mereka dari jalan , sehingga mereka tidak dapat petunjuk. agar mereka tidak menyembah Allah Yang mengeluarkan apa yang terpendam di langit dan di bumi dan Yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. (QS. An-Naml : 23-25)

Jadi jelas sekali bahwa baik Ratu Saba` maupun kaumnya adalah masyarakat kafir jahiliyah yang kerjanya menyembah matahari. Oleh sebab itu misi burung Hud-hud membawa surat ajakan masuk Islam dari Nabi Sulaiman.

Bagaimana mungkin umat Islam hari ini mengambil hukum fiqih dari sebuah bangsa kafir, syirik dan penyembah matahari ?

3. Ketiga

Kalaulah disebutkan bahwa akhirnya Ratu Saba` yang wanita itu masuk Islam bersama Sulaiman, kita tidak menemukan dalil yang pasti tentang apakah dia tetap memerintah di negerinya atau tidak. Sebagian cerita menyebutkan bahwa Ratu ini menikah dengan Nabi Sulaiman as. Kalaulah cerita itu benar, maka tidak mungkin Nabi Sulaiman pensiun dari menjadi raja lalu menyerahkan kerajaannya itu kepada istrinya. Ini bukanlah cerita yang pernah kita dengar.

Demikian pula bila tidak menikah, yang pasti kerajaan Saba` itu sudah takluk di bahwa kekuatan yang jauh leibh tinggi lagi yaitu kerajaan Nabi Sulaiman di Palestina. Maka yang lebih tepat Saba` menjadi sebuah wilayah di bawah kekuasaan negara lain.

4. Keempat

Tentang ungkapan yang sering kita dengar dari Al-Quran Al-Kariem tentang negeri Saba` yaitu Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun ghafur , ini tidak ada dalam rangkaian ayat yang menceritakan kisah Ratu Saba`.
Ungkapan ini memang benar tentang negeri Saba`, tetapi kalau memperhatikan ada ungkapan Wa Rabbun Ghafur yang mengisyaratkan negeri itu diridhai Allah Subhanahu Wata`ala, tentu asumsi kita tidak bisa menerima kalau ungkapan itu diberikan Allah Subhanahu Wata`ala pada masa kekuasaan ratu Saba`. Sebab bertentangan dengan ayat pada surat An-Naml yang menceritakan bahwa di masa berkuasanya sang Ratu, bangsa itu menyembah matahari.
Bagaimana Allah Subhanahu Wata`ala meridhai atau tepatnya memberi ampunan kepada suatu bangsa yang menyembah matahari ? Pastilah ungkapan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun ghafur itu bukan diberikan pada masa kekuasaan ratu Saba`, melainkan masa yang lain dimana negeri itu beriman kepada-Nya. Mungkin pernah terjadi sebelumnya atau mungkin juga sesudahnya. Yang jelas bukan pada saat sang Ratu berkuasa.
Dan itu artinya, berkuasanya ratu Saba` sama sekali tidak bisa dijadikan dalil bahwa Islam membolehkan sebuah negara di pimpin oleh seorang wanita. Ini sebuah istimbath yang terlalu dipaksakan.

Kelemahan Pendapat Yang Membolehkan Wanita Menduduki Jabatan Wilayah Uzhma

Secara umum, pendapat yang membolehkan wanita boleh menduduki jabatan tertinggi dalam sebuah negara berdaulat mengandung banyak kelemahan dalam beristidlal. Selain itu juga harus berhadapan dengan dalil-dali yang berlawanan.

1. Dalil Pertama

Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa wanita tidak boleh menduduki wilayah `uzhma atau puncak kekuasaan tertnggi. Dalam masa sekarang, istilah jabatan itu memang presiden.

2. Dalil Kedua

Sanggahan bahwa Ibnu Jarir membolehkan wanita menjadi pemimpin sebenarnya bukan pada wilayah `uzhma, melainkan jabatan tinggi dalam kenegaraan, seperti qadhi, hakim atau menteri. Maka bisa dikatakan bahwa tidak ada khilaf di kalangan ulama tentang ketidak-bolehan wanita menduduki wilayah `uzhma. Semua sepakat melarangnya.

3. Dalil Ketiga

Selain itu sering juga dikatakan bahwa hadits Rasulullah SAW yang mengatakan bahwa tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin wanita adalah hanya terkait dengan ketidakmampuan ratu Persia saat itu. Pendapat ini terlalu lemah dan bisa dengan mudah dipatahkan.

Pertama, hadits ini adalah hadits shahih yang Al-Bukhari mencantumkannya di dalam shahihnya. Diriwayatkan oleh Abi Bakrah pada level shahabat. Selain itu hadits ini juga diriwayatkan oleh para perawi hadits lainnya. Maka derajat hadits ini memang shahih.

Kedua, semua dalil yang ada di dalam Al-Quran Al-Kariem mapun As-Sunah An-Nabawiyah harus dipahami bukan semata-mata karena sebab turunnya atau sebab wurudnya saja. Ada ungkapan yang tepat untuk masalah ini yaitu Al-`Ibratu bi `Umumil Lafzhi Laa Bi Khushushis Sabab .

Katakanlah bila sebab Rasulullah SAW mengungkapkan hal itu karena terkait dengan Ratu Buran yang memimpin Persia, namun ungkapan Rasulullah SAW tidak boleh hanya dikaitkan semata-mata karena peristiwa itu saja, melainkan secara umum memang demikian makna hadits itu dan tetap harus diterapkan dalam hal-hal lainnya.
Ketiga, bila dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda demikian karena konon Ratu Buran yang memimpin Persia itu kurang cakap dalam memimpin, maka seharusnya bunyi hadits beliau tidak perlu menyebutkan masalah kewanitaannya. Mungkin tepatnya hadits itu berbunyi [tidak beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh pemimpin yang tidak becus].
Tetapi jelas dan nyata Rasulullah SAW menyebutkan gender, jadi ketidakberuntungan mereka memang semata-mata karena jenis kelamin pemimpinnya wanita. Apakah dia becus atau tidak dalam memimpin, sungguh tidak ada kaitannya dengan lafaz hadits itu.

Tidak ada komentar: