4/02/2008

Pluralisme Agama

Untuk memahami diskursus pluralisme agama hendaknya kita telusuri sejarahnya, paling tidak, sejak awal abad 20an. Adalah Ernst Troeltsch seorang teolog Kristen asal Jerman yang mengemukakan urgensi sikap pluralis ditengah berkembangnya konflik internal antar umat kristiani maupun antar agama, ia menambahkan lagi bahwa umat kristiani tidak berhak untuk mengklaim dirinya benar sendiri (truth claim), berturut-turut setelahnya kemudian diikuti oleh William Hocking dan Arnold Toynbee, seorang sejarawan yang terkenal. Kalau kita runut, faham diatas sudah dirintis oleh tokoh Protestan Liberal F. Schleilmacher (sekitar paruh abad 19) dengan Protestantisme Liberalnya.
Dari sini bisa kita lihat, bahwa pluralisme agama sebagai bentuk liberalisasi agama merupakan respon teologis terhadap liberalisasi politik yang telah muncul sebelumnya. Liberalisasi politik ini dimunculkan oleh para "founding fathersnya" demokrasi pada awal abad modern, yang kemudian secara praktek dijalankan oleh Amerika (waktu itu kecenderungan barat selalu ingin memodernkan segala bidang, termasuk juga agama (baca:Kristen) ) salah satu ciri kemodernan ini adalah globalisasi, demokrasi dan human right. Dari wacana inilah kemudian lahir Pluralisme Politik. Kalau dilihat dari sisi ini, sebenarnya Pluralisme Agama adalah gerakan politik par exellence dan bukanlah agama. Dasar dari faham ini adalah persamaan, kebebasan dan tidak ada yang berhak mengklaim kebenaran dirinya sendiri (truth claim).
Bagaimana sikap gereja?
Disini perlu kita cermati, karena oleh para pengusung pluralisme di Indonesia sering digambarkan bahwasanya para "ulama" kristen terkesan mengamini gerakan tersebut. Hal ini perlu diluruskan, mengingat pihak gereja, disaat bergulirnya isu tersebut menentangnya dengan keras. Indikasinya terlihat jelas dengan terus berjalannya misi Kristen keseluruh dunia (kristenisasi) , John Hick (tokoh pluralisme internasional dan juga teolog di gereja Presbyterian) banyak mendapat tantangan dari pihak gereja, yang akhirnya melahirkan perdebatan antara pro-kontra pluralisme (perdebatan tersebut bisa di baca di "problem in the philosophy of religion" diedit oleh Harold Hewitt) dari buku tersebut bisa kita lihat begitu banyak kelemahan faham pluralisme agama.
bagaimana dengan indonesia?
pertanyaanya sekarang, bagaimana masa depan faham ini bila diterapkan di Indonesia? melihat keterangan diatas, jika faham ini dikembangakan di Indonesia (yang mayoritas Muslim) akan memunculkan berbagai permasalahan teologis, dan bahkan juga sosial-politik serta HAM yang luar biasa...
Apa kelemahan pluralisme agama?
Setidaknya pluralisme memiliki beberapa kelemahan yang fundamental, menurut Anis Malik Toha (Tren Pluralisme Agama:2005) dan Adian Husaini (Pluralisme Agama:Haram:2005) ada beberapa point penting yang perlu dicatat mengenai ide pluralisme tersebut
pertama, kaum pluralis mengaku menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran dan tidak pluralis, karena menafikan kebenaran "eksklusif" sebuah agama, mereka menafikan truth claim, tapi mereka sendiri mengklaim bahwa ajarannya (Pluralisme) adalah paling benar dalam memahami agama. Tampaknya disini mereka tidak sadar kalau mereka melanggar kaidah fundamental mereka sendiri.
kedua, adanya 'pemaksaan' nilai-nilai budaya Barat (westernisasi) terhadap negara-negara Timur, dari embargo, perang dll, ini menandakan tidak adanya toleransi Barat terhadap Timur. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan orang Timur (Allah, Yahweh, Yesus, Trinitas, Trimurti dsb) namun pada waktu yang bersamaan 'secara tidak sadar' mereka telah mengklaim absolut tuhan mereka sendiri, "the Real" yang diusulkan Hick ataupun 'al Haq'nya Hussein Nasr. Diantara mereka pun (antara hick dan Nasr), belum ada kata sepakat mengenai istilah 'the real' dan 'al haq' (adnan aslan: religious pluralism between Cristian and Muslim Philosophy :1997)
ketiga, bila kita cermati dengan seksama, Pluralisme agama merupakan agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritualnya sendiri. sebagaimana Humanisme, juga merupakan agama, yang menuhankan nilai-nilai kemanusiaan, sebagaimana yang dilontarkan "bapakknya" positivisme August Comte. john Dewey pun mengatakan bahwa Demokrasi adalah agama dan tuhannya adalah nilai-nilai Demokrasi.
Hal tersebut bisa dikaitkan dengan teori 'civil religion'nya Robert N Bellah (civil Religion in america) disini ia menyimpulkan bahwa yg berkembang di Amerika adalah 'agama civil' yaitu agama yang tidak berpihak pada agama-agama tradisional apapun yang dipeluk oleh warganya.
keempat, Pluralisme tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri atau mengekspresikan jati-dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbol-simbol keagamaan dll.
Jadi wacana Pluralisme Agama sebenarnya merupakan upaya 'unifomy' (penyeragaman) segala bentuk perbedaan dan keberagaman agama, hal ini jelas-jelas secara ontologis bertentangan dengan sunnatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri, karena itu, aneh jikalau gagasan tersebut ingin digagaskan di Indonesia yang mayoritas Muslim.

Tidak ada komentar: