Salah satu persoalan nyata yang dihadapi umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad SAW adalah masalah kekosongan kepemimpinan Negara Islam. Hal ini memang tidak diatur dengan tegas dan rinci baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Tentang hal ini ada pengamat Barat yang mengatakan, Barangkali sakit beliau di akhir hayatnya telah menghalangi beliau untuk melakukan hal itu, dan seorang orientalis lain, Thomas Arnold, menyatakan, sebabnya adalah karena Nabi tidak mau melanggar adat istiadat Arab yang berlaku pada masa itu.
Menurut Dhiauddin Rais (2001), pandangan-pandangan spekulatif seperti disebutkan di atas tidak bisa diterima. Sesungguhnya faktor utama yang melatarbelakangi hal ini adalah karena adanya hikmah syariat yang besar yang dikehendaki dengan tidak dijelaskannya masalah khilafah ini dengan jelas dan rinci, yaitu agar tidak mengikat umat Islam dengan aturan baku yang kaku, yang kemudian bisa tidak cocok dengan perkembangan yang terus terjadi, serta tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. Syariat Islam memang berkehendak agar undang-undang Islam terus bersifat lentur, sehingga memberi kesempatan kepada akal manusia untuk berpikir, dan umat Islam dapat menciptakan sendiri sistem politik dan kemasyarakatannya, sesuai dengan kebutuhan mereka yang terus berubah-ubah.
Masa 30 tahun berikutnya sejak Nabi wafat tahun 662M dan tewasnya Ali dibacok seorang Khawarij tahun 661M dikenal sebagai era Khulafaur-Rasyiddin (The Right Guided Successors) yang berada di bawah prinsip-prinsip konsultasi dan akomodasi, dimana pengangkatan khalifah dilakukan atas dasar prinsip-prinsip demokrasi yang dilakukan oleh diwan syura melalui proses musyawarah dan pilihan dengan baiat. Pada umumnya ulama maupun pengamat sepakat bahwa pada era Khulafaur-Rasyiddin ke-imamahan sangat sempurna, sebab idealisme Islam sesuai dengan realita.
Dalam menanggapi diselenggarakannya Konferensi Khilafah Internasional oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) 12 Agustus 2007, Azyumardi Azra dengan mengutip pendapat Ibnu Khaldun menyatakan bahwa khilafah sudah tamat dengan berakhirnya Khulafaur-Rasyiddin. Dengan tegas Azyumardi Azra mengatakan, semua entitas politik pasca al-Khulafa al-Rasyidun adalah kerajaan atau kesultanan, bukan khilafah.
Ada kekeliruan mendasar yang disimpulkan oleh Azyumardi Azra. Waktu Ali tewas, memang telah berakhir apa yang disebut ulama-ulama fikih sebagai Khilafat al-Kamila, atau kekhalifahan yang sempurna, tetapi bukan kekhalifahan itu sendiri. Dalam Muqaddimah pasal 28 tentang Perubahan Kekhalifahan Menjadi Kerajaan Ibnu Khaldun sesungguhnya mengatakan bahwa sejak Muawiyah mewariskan tahta kepada putranya Yazid karena didorong oleh fanatisme primordial (al-ashabiyah) bentuk kekhalifahan bermetamorphosis menjadi sistem kerajaan. Meskipun demikian Ibnu Khaldun menyatakan bahwa kekhalifahan itu secara substansi tetap ada dan bertahan. Perpindahan dari kekhalifahan ke bentuk kerajaan an sich tidak dinilai beliau bertentangan dengan syariat, sepanjang kerajaan masih melaksanakan segala aktivitasnya untuk mencapai kebenaran dan kemaslahatan bersama.
Lebih jauh Ibnu Khaldun mengatakan bahwa walaupun bentuk pemerintahan Islam telah berganti dari sistem syura ke sistem pewarisan kerajaan, namun makna-makna substansial dan tujuan-tujuan atau hakikat kekhalifahan masih utuh dan ciri Negara Islam masih berjalan. Dalam Muqaddimah beliau menyatakan, Islam masih memiliki kehormatan dan kekuatan; Islam telah menebarkan keadilan, persaudaraan, persamaan dan penjagaan kehormatan, menggantikan kezaliman, pemaksaan dan penindasan sebagaimana yang sebelumnya dilakukan oleh imperium Persia dan Romawi.
Ibnu Khaldun yang lebih fokus pada makna formal keimamahan menyimpulkan bahwa setiap sistem pemerintahan ditentukan oleh undang-undang. Pertama, pemerintahan kerajaan yang alamiah yang membawa umat pada tujuan memenuhi tujuan nafsu (al-shahwat), yang tabiat alamiahnya ditentukan oleh instink seperti berusaha mewujudkan keserakahan individu. Kedua, pemerintahan politik (siyasah aqliyah), yang didasarkan pada rasio belaka dalam mencapai kesejahteraan duniawi. Walau kedua bentuk pemerintahan ini hingga batas tertentu dapat mewujudkan keadilan dan manfaat, keteraturan, kemajuan dan kejayaan bangsa, tetapi misinya materialis dan mengenyampingkan kehidupan spritual dan hal-hal yang berkaitan dengan akhirat.
Karena kelemahan tersebut, diperlukan bentuk pemerintahan ketiga, yaitu pemerintahan kekhalifahan (siyasah diniyah), yaitu sebuah sistem yang akan membawa semua orang untuk sesuai dengan jalan agama Islam dalam memenuhi kepentingan mereka dunia dan akhirat. Model pemerintahan ketiga ini menurut Ibnu Khaldun adalah perwakilan dari Tuhan sebagai pemilik syariat dalam menjaga agama dan mengatur dunia dengan ajaran-ajarannya.
Hakikat kekhalifahan adalah usaha untuk mendirikan Negara Islam dan menjaga kesinambungannya. Negara yang dimaksud adalah negara yang berdiri di atas dasar agama Islam, yang melaksanakan syariat Islam, yang bertugas menjaga tanah-tanah Negara Islam, yang membela penduduk Islam, dan berusaha menyebarkan misi Islam di dunia. Dhiauddin Rais menyatakan bahwa hukum mendirikan Negara Islam tersebut adalah fardhu atau rukun. Dengan demikian umat Islam dikategorikan lengah dan dari sisi agama Islam berdosa jika tidak melaksanakan kewajiban ini. Dosa tersebut jatuh ke pundak para kepala negara, penguasa, ulama, dan cerdik pandai seperti Azyumardi Azra, karena kewajiban tersebut jatuh terlebih dahulu atas mereka, dan merupakan tingkatan pertama yang bertanggungjawab bagi tugas penjagaan umat dan agama Islam. Selamat berjuang!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar