10/17/2008

Mengkritisi Konsep Teo-Demokrasi

Makna Teo-Demokrasi

Konsep teo-demokrasi merupakan konsep sistem politik Islam yang digagas oleh Abul A’la al-Maududi (lahir 1903), ulama Pakistan yang mendirikan gerakan Islam Jamaat-e-Islami pada tahun 1940-an. Konsep itu dituangkan dalam bukunya yang terkenal, Al-Khilâfah wa al-Mulk (Khilafah dan Kekuasaan), yang terbit di Kuwait tahun 1978.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep teo-demokrasi adalah akomodasi ide teokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep teokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan:
Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum.
Kedua, karena praktik “kedaulatan rakyat” sering justru menjadi omong-kosong. Partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu, sedangkan kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa yang—sekalipun mengatasnamakan rakyat—sering malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988: 19-21).

Namun demikian, ada satu aspek demokrasi yang diterima al-Maududi, yakni bahwa kekuasaan (Khilafah) ada di tangan setiap individu kaum Mukmin. Khilafah tidak dikhususkan bagi kelompok atau kelas tertentu. Inilah yang—menurut al-Maududi— membedakan sistem Khilafah dengan sistem kerajaan. Dari sinilah al-Maududi lalu menyimpulkan, “Dan ini pulalah yang mengarahkan Khilafah Islamiyah ke arah demokrasi, meskipun terdapat perbedaan asasi antara demokrasi Islami dan demokrasi Barat...” (Al-Maududi, 1988: 67).
Mengenai teokrasi, yang juga menjadi akar konsep teo-demokrasi, sebenarnya juga ditolak oleh al-Maududi, terutama teokrasi model Eropa pada Abad Pertengahan di mana penguasa (raja) mendominasi kekuasaan dan membuat hukum sendiri atas nama Tuhan (Amien Rais, 1988: 22). Meskipun demikian, ada anasir teokrasi yang diambil al-Maududi, yakni pengertian kedaulatan tertinggi ada di tangan Allah. Dengan demikian, menurut al-Maududi, rakyat mengakui kedaulatan tertingggi ada di tangan Allah, dan kemudian, dengan sukarela dan atas keinginan rakyat sendiri, menjadikan kekuasaannya dibatasi oleh batasan-batasan perundang-undangan Allah Swt. (Al-Maududi, 1988: 67).
Walhasil, secara esensial, konsep teo-demokrasi berarti bahwa Islam memberikan kekuasaan kepada rakyat, tetapi kekuasaan itu dibatasi oleh norma-norma yang datangnya dari Tuhan. Dengan kata lain, teo-demokrasi adalah sebuah kedaulatan rakyat yang terbatas di bawah pengawasan Tuhan. Atau, seperti diistilahkan al-Maududi, a limited popular sovereignty under suzerainty of God (Amien Rais, 1988: 23-24). Dalam bukunya yang lain, yaitu Islamic Law and Constitution (1962: 138-139), al-Maududi menggunakan istilah divine democracy (demokrasi suci) atau popular vicegerency (kekuasaan suci yang bersifat kerakyatan) untuk menyebut konsep negara dalam Islam (Asshidiqie, 1995: 17).

Penggunaan Istilah Teo-Demokrasi

Catatan kritis pertama adalah penggunaan istilah teo-demokrasi itu sendiri. Bolehkah kita menggunakan istilah Barat yang maknanya bertentangan dengan Islam, seperti teokrasi dan demokrasi, lalu diberi makna baru atau catatan-catatan agar tidak bertentangan dengan Islam?
Memang, al-Maududi sendiri menolak konsep teokrasi dan demokrasi ala Barat yang sekular. Benar pula bahwa beliau pun lalu memberikan muatan makna baru yang islami seraya menolak muatan makna yang sekular. Namun, beliau sendiri tidak pernah menjelaskan argumentasi yang membolehkan pemaknaan ulang suatu istilah asing seperti yang dia lakukan. Inilah kiranya satu celah kelemahan konsep teo-demokrasi.
Menurut Taqiyuddin an-Nabhani, jika suatu istilah asing mempunyai makna yang bertentangan dengan Islam, istilah itu tidak boleh digunakan. Sebaliknya, jika maknanya terdapat dalam khazanah pemikiran Islam, istilah tersebut boleh digunakan (An-Nabhani, 2001: 85-86). Dalam hal ini, Islam telah melarang umatnya untuk menggunakan istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, apalagi kerancuan yang menghasilkan pengertian-pengertian yang bertolak belakang antara pengertian yang islami dan yang tidak islami. Allah Swt. berfirman:
]يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا[
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengatakan (kepada Muhammad), “Râ’inâ,” tetapi katakanlah, “Unzhurnâ,”…. (QS al Baqarah [2]: 104).

Râ’inâ artinya, “sudilah kiranya Anda memperhatikan kami.” Pada saat para sahabat menghadapkan kata ini kepada Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata ini dengan digumam seakan-akan menyebut râ’inâ, padahal yang mereka katakan adalah ru’ûnah, yang artinya “amat bodoh.” Itulah sebabnya, Allah menyuruh supaya para sahabat menukar perkataan râ’inâ dengan unzhurnâ, yang sama artinya. Oleh Ihsan Sammarah, dalam kitabnya, Mafhûm al-Adalah al-Ijtimâ‘iyah fî al-Fikrî al-Islâmî al-Mu‘âshir (1991), ayat ini dijadikan dalil untuk menolak penggunaan istilah yang dapat menimbulkan kerancuan atau bias, yang pengertiannya kemungkinan berupa makna islami atau makna yang tidak Islami. Karena itu, penggunaan istilah demokrasi, teokrasi, atau teo-demokrasi tidak dapat diterima, karena pengertiannya mengandung ambivalensi antara yang mengartikannya menurut perspektif sekular dan yang mengartikannya menurut perspektif Islam. (Abdullah, 1996: 10-11).

Kedaulatan dan Kekuasaan

Catatan kritis kedua, bahwa konsep teo-demokrasi tidak secara jernih membedakan kedaulatan dan kekuasaan dalam perspektif Islam. Ada semacam kerancuan. Bahkan terkesan keduanya dicampuradukkan menjadi satu, karena kata teo mewakili konsep kedaulatan Tuhan (teokrasi), sedang kata demokrasi mewakili konsep kekuasaan rakyat. Meski disayangkan, namun hal ini wajar terjadi, karena dalam pemikiran politik Barat yang dominan di seluruh dunia, kedua hal tersebut memang berasal dari satu sumber yang sama, yaitu rakyat. Sebab, rakyat menurut Barat adalah sumber legislasi (source of legislation) sekaligus sumber kekuasaan (source of power).
Meski demikian, sesungguhnya kedaulatan dan kekuasaan dapat dibedakan. Kedaulatan (as-siyâdah, sovereignty) merupakan konsep yang berkaitan dengan kewenangan membuat hukum (legislasi). Sedangkan kekuasaan (as-sulthan, authority) berkaitan dengan siapa yang berwenang menerapkan hukum itu dalam kekuasaan (Al-Khalidi, 1980: 24; Al-Jawi, 2003: 209-210).
Berdasarkan pembedaan inilah, maka An-Nabhani (1990: 38-40) merumuskan konsepnya mengenai kedaulatan dan kekuasaan dalam Islam. Kedaulatan (as-siyâdah) dalam Islam ada di tangan syariat (as-siyâdah li asy-syar‘i), bukan di tangan rakyat. Rakyat tidak berhak membuat hukum, sebab yang menjadi Pembuat Hukum (Al-Musyarri’, Law Maker) hanyalah Allah Swt. (Lihat, misalnya, QS al-An‘am [6]: 57). Adapun kekuasaan (as-sulthân) ada di tangan umat (as-sulthân li al-ummah), sebab umatlah yang berhak membaiat siapa saja yang dikehendakinya untuk menjadi penguasa (khalifah). Dengan pembedaan yang tegas antara konsep kedaulatan dan kekuasaan ini, seperti dirumuskan oleh An-Nabhani, kerancuan berpikir tidak akan terjadi. Ini tentu berbeda dengan konsep teo-demokrasi yang menggabungkan konsep kedaulatan dan kekuasaan menjadi satu sehingga masih berpeluang merancukan dan menggelincirkan pemahaman.

Kedaulatan Tuhan

Catatan kritis ketiga, berkaitan dengan diakomodasinya konsep “kedaulatan Tuhan” (teokrasi) dalam konsep teo-demokrasi al-Maududi. Dalam hal ini, perlu kiranya dicermati, bahwa An-Nabhani mengusulkan konsep “kedaulatan di tangan syariat”, dan bukan konsep “kedaulatan Tuhan”. Secara substansial memang tidak ada perbedaan antara an-Nabhani dengan al-Maududi mengenai maknanya, yakni bahwa yang berhak membuat hukum hanya Allah semata dan manusia tidak berhak membuat hukum. Namun, di sini terlihat dengan jelas bahwa an-Nabhani berusaha dengan amat hati-hati untuk tidak menggunakan istilah “kedaulatan Tuhan” yang bisa menimbulkan kesalahpahaman.
Sikap an-Nabhani tersebut akan dapat dipahami karena dalam teori “kedaulatan Tuhan” terkandung konsep yang bertentangan dengan Islam. Teori “kedaulatan Tuhan” tak dapat dilepaskan dari konsep teokrasi yang berkembang di Barat pada Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M). Menurut The Concise Oxford Dictionary, hal. 1321, istilah teokrasi dikaitkan dengan pemerintahan atau negara yang diperintah oleh Tuhan, baik secara langsung maupun melalui kelas kependetaan (Asshidiqie, 1995: 23). Dalam teokrasi Barat ini, konsep “kedaulatan Tuhan” mempunyai arti bahwa yang memiliki kekuasaan tertinggi atau kedaulatan adalah Tuhan. Selanjutnya, Tuhan mewakilkan kekuasaan-Nya kepada raja atau Paus (Amiruddin, 2000: 103-104). Karena mewakili Tuhan, maka segala perilaku raja atau Paus selalu terjaga dari kesalahan atau suci (ma‘shûm, infellible). Jadi, negara teokrasi—yang menjalankan teori kedaulatan Tuhan—merupakan negara yang dipimpin oleh gerejawan atau raja yang menganggap segala perilaku mereka terjaga dari kesalahan dan suci. Maka dari itu, apa yang mereka halalkan di bumi, tentu halal pula di langit. Apa yang mereka haramkan di dunia, tentu diharamkan pula di langit (Lihat: Dr. Yusuf Qaradhawy, Fiqih Daulah, hlm. 81). Bahkan menurut Imam Khomeini, tokoh kaum Syiah yang sangat terpengaruh dengan konsep teokrasi Eropa, kesucian para pemimpin/penguasa, berada pada martabat yang sangat tinggi, yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh para nabi maupun malaikat muqarrabin (Lihat: Al-Imam Al-Khomeini, “Al-Wilâyah at-Takwîniyah,” Al-Hukumah Al-Islamiyah, hlm. 52).
Dari uraian sekilas ini, tampak bahwa teori “kedaulatan Tuhan” sungguh tidak dapat dilepaskan dari konsep teokrasi yang bertentangan dengan Islam.
Setidaknya ada tiga poin krusial yang menunjukkan kontradiksi teori “kedaulatan Tuhan” (teokrasi) dengan Islam. Pertama, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa adalah wakil Tuhan di muka bumi, sedangkan dalam Islam, seorang khalifah dalam negara Khilafah adalah wakil umat—bukan wakil Tuhan— dalam urusan kekuasaan dan penerapan syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 48). Kedua, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa bersifat ma‘shûm, sedangkan dalam Islam, seorang khalifah bukan orang ma‘shûm; bisa saja dia berbuat dosa dan kesalahan. Karena itulah, amar makruf nahi mungkar disyariatkan (An-Nabhani, 1990: 119-121). Ketiga, dalam teori kedaulatan Tuhan, penguasa atau gerejawan membuat undang-undang atau hukum yang berasal dari dirinya sendiri tanpa suatu acuan dan pedoman yang jelas dari wahyu Tuhan, sedangkan dalam Islam, penguasa mengadopsi hukum-hukum syariat berdasarkan ijtihad yang sahih dengan acuan dan pedoman yang jelas, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (Djaelani, 1994: 86-87). Walhasil, adanya kontradiksi tajam antara “kedaulatan Tuhan” dan Islam inilah yang kemungkinan membuat An-Nabhani berhati-hati merumuskan konsepnya sebagai “kedaulatan di tangan syariat” (as-siyâdah li asy-syar‘i), bukan kedaulatan di tangan Allah (as-siyâdah li Allâh), demi kejernihan pemikiran.

Penutup

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa konsep teo-demokrasi lebih banyak mendatangkan masalah dan kerumitan baru daripada mendatangkan kecemerlangan dan penyelesaian berbagai masalah. Dalam beberapa hal, konsep teo-demokrasi cukup bisa membedakan dengan kontras sistem Khilafah dan kerajaan. Akan tetapi, konsep ini tidak bisa membedakan secara jelas perbedaan sistem republik—atau republik Islam—dengan sistem Khilafah. Ini tentunya wajar karena konsep teo-demokrasi memang didasarkan pada sikap akomodatif antara Islam dan ide demokrasi, sebagai dasar sistem republik. Jika ini yang terjadi, maka terwujudnya sistem Khilafah akan mengalami hambatan dan akan memakan waktu lebih lama. Sebab, bisa jadi para aktivisnya terkecoh dengan jalan perjuangan kooperatif melalui perbaikan sistem republik yang ada. Apalagi kalau namanya sedikit diganti menjadi “republik Islam”, seperti misalnya Republik Islam Pakistan.
Sudah selayaknya, kejernihan dan kecemerlangan berpikir selalu dikedepankan dalam upaya menuju kebangkitan umat. Sebab, umat Islam tidak akan mungkin mengalami kebangkitan pemikiran, kecuali dengan kembali mengambil pemikiran-pemikiran yang cemerlang (mustanîr). Konsep yang kabur atau kurang jelas sudah selayaknya dikesampingkan untuk menuju konsep yang lebih jernih dan cemerlang. Bukankah Nabi saw. telah bersabda:
«دَعْ مَا يُرِيْبُكَ إِلىَ مَا لاَ يُرِيْبُكَ»
Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu. (HR Ahmad, an-Nasa’i, dan ath-Thabrani).


Daftar Pustaka
1 Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafâhîm Islâmiyyah. Juz II. Cetakan I. Beirut: Darul Bayariq.
2 Al-Jawi, M. Shiddiq. 2003. “Must Islam Accept Democracy?” dalam David Bourchier & Vedi R. Hadiz (Editor). Indonesian Politics and Society: A Reader. London-New York: RoutledgeCurzon, hlm. 207-211.
3 Al-Khalidi, Mahmud Abdul Majid. 1980. Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm. Cetakan I. Kuwait: Darul Buhuts al-‘Ilmiyah.
4 Al-Maududi, Abul A’la. 1988. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilâfah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung: Mizan.
5 Amiruddin, M. Hasbi. 2000. “Teori Kedaulatan Tuhan”. Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman. Cetakan I. Yogyakarta: UII Press, hlm. 103-105.
6 An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizhâm al-Islâm. Cetakan VI. t.tp. : t.p.
7 Asshidiqie, Jimly. 1995. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Cetakan I. Jakarta: Gema Insani Press.
8 Djaelani, Abdul Qadir. 1994. “Kedaulatan Tertinggi dalam Negara”. Sekitar Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Media Dakwah, hlm. 83-87.
9 Khomeini, Imam. Tanpa tahun. Al-Hukûmah al-Islâmiyyah. T.tp. : t.p.
10 Rais, Amien. 1988. “Kata Pengantar”. Khilafah dan Kerajaan (Al-Khilâfah wa Al-Mulk). Alih Bahasa Muhammad al-Baqir. Cetakan II. Bandung: Mizan.
11 Sammarah, Ihsan. 1991. Mafhûm al-‘Adalah al-Ijtimâ‘iyyah fî al-Fikrî al-Islâmî al-Mu‘âshir. Cetakan II. Beirut: Dar an-Nahdhah al-Islamiyah.

1 komentar:

Forum Studi Syariah wal Qanun mengatakan...

assalmu'alaikum, keren artikelnya, kapan kapan, ke Qanun lah, kita ngobrolin Nudzum siyasi bareng bareng, he he he...selamat beraktifitas aja...